Konstruktivisme
merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas
melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui
pengalaman nyata. Menurut Slavin (2006) teori konstruktivistik adalah teori
yang menyatakan bahwa peserta didik secara individual harus menemukan dan
mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi yang baru terhadap
aturan-aturan informasi yang lama, dan merevisi aturan-aturan yang lama bila
sudah tidak sesuai lagi.
Menurut Santrock (2008) konstruktivisme adalah pendekatan untuk
pembelajaran yang menekankan bahwa individu akan belajar dengan baik apabila
mereka secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dan pemahaman.
Hakikat
pembelajaran konstruktivistik menurut Brooks & Brooks (1993) adalah
pengetahuan bersifat non-objektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak
menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman
konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti
menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna. Atas dasar ini,
maka siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung
pada pengalaman dan perspektif yang digunakan dalam menginterpretasikannya.
Gambar:
Carta Alir Proses Konstruktivisme
B.
PERBEDAAN ANTARA TEORI BEHAVIORISTIK DENGAN TEORI KONSTRUKTIVISTIK
Sebelum
membahas lebih jauh tentang teori belajar dan pembelajaran konstruktivistik
maka lebih dahulu perlu disajikan perbandingan antara teori behavioristik
dengan teori konstruktivistik mengingat keduanya memiliki perbedaan yang cukup
mendasar.
Aspek
|
Behavioristik
|
Konstruktivistik
|
Pengetahuan
|
Objektif,
pasti, dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi
|
Tidak
objektif, temporer, selalu berubah, dan tidak menentu
|
Belajar
|
Perolehan
pengetahuan
|
Penyusunan
pengetahuan dari pengalaman nyata, aktivitas kolaboratif, refleksi serta
interpretasi
|
Mengajar
|
Pemindahan
pengetahuan ke orang yang belajar
|
Penataan
lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai
ketidakmenentuan
|
Pemahaman
|
Siswa
diharapkan memiliki pemahaman yangs sama terhadap pengetahuan yang diajarkan
|
Siswa akan
memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada
pengalaman, dan persepektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya
|
Mind
|
Men-jiplak
struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan
dipilah sehingga makna yang dihasilkan ditentukan oleh karakteristik struktur
pengetahuan
|
Sebagat
alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek atau perspektif yang ada dalam
dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik
|
C.
TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
1. Ragam Teori Konstruktivistik
a. Konstruktivistik Kognitif
Ketidakpuasan
terhadap behaviorisme yang fokus pada tingkah laku teramati telah membawa Jean
Piaget untuk mengembangkan satu pendekatan belajar yang lebih menaruh perhatian
pada “apa yang terjadi pada kepala anak”. Pengertian belajar menurut konstruktivistik
kognitif adalah proses perubahan dalam struktur kognitif seorang individu
sebagai hasil konstruksi pengetahuan yang bersifat individual dan internal.
Adapun konsep pokok Jean Piaget sebagai berikut:
1)
Equilibrium/Disequilibrium
Situasi
ketidaktahuan atau konflik dalam diri individu yang disebabkan rasa ingin tahu,
menyebabkan seseorang berada dalam ketidakseimbangan yang disebut disequilibrium.
Manusia berusaha mengatasi kondisi disequilibrium yang tidak menyenangkan
dengan bertanya, membaca, mendatangi kejadian, dan semacamnya agar tercipta
kondisi equilibrium. Sehingga disequilibrium menjadi drive for
equilibration atau menjadi dorongan/motivasi untuk bertindak.
2)
Organisasi & Skema
Perlu
diketahui bahwa apa yang dipelajari anak tidak masuk begitu saja kealam
berpikir anak, atau dengan kata lain apa yang masuk, tidak tersimpan secara
acak-acakan ke dalam otak. Apa yang masuk akan disusun sedemikian rupa agar
berkaitan dengan kerangka berpikir yang dimilikinya yang disebut pengorganisasian.
Setiap
struktur atau hirarki dari pengorganisasian semua pengetahuan yang dimiliki
individu terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan membentuk
kerangka struktur yang disebut skema. Dalam pembelajaran, tiap materi
yang dipelajari sebaiknya dikaitkan dengan pengalaman anak sebelumnya (skema)
agar terkoneksi dengan struktur kognitif siswa.
3)
Adaptasi : Asimilasi & Akomodasi
Terkadang
saat memperoleh pengalaman baru dan pada saat bersamaan kita mengetahui bahwa
pengalaman sebelumnya yang sudah dimiliki ternyata sudah tidak sesuai lagi.
Proses penyesuaian skema dengan pengalaman baru dalam upaya mempertahankan
equilibrium disebut adaptasi.
Asimilasi
adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan akomodasi adalah proses
mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru
atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Selain
Piaget, ada tokoh konstruktivistik kognitif lain yakni Jerome Bruner dengan discovery
learning (belajar penemuan) di mana siswa belajar dengan caranya
sendiri untuk menemukan prinsip-prinsip dasar. Dalam discovery learning
siswa didorong untuk belajar lebih jauh lagi menurut caranya sendiri melalui
keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong
siswa mendapatkan pengalaman-pengalaman serta melakukan eksperimen.
b.
Konstruktivistik Sosial
Berbeda
dengan konstruktivistik kognitif dimana anak cenderung lebih bebas mengkonstruk
sendiri pengetahuannya dan peran guru yang akhirnya kabur dan tidak jelas
sebagai pengajar. Sebaliknya, konstruktivistik sosial yang dipelopori Vygotsky
mengedepankan pengkonstruksian pengetahuan dalam konteks sosial sehingga peran
guru menjadi jelas dalam membantu anak mencapai kemandirian. Dari Piaget ke
Vygotsky ada pergeseran konseptual dari individual ke kolaborasi, interaksi
sosial, dan aktivitas sosiakultural. Pengertian belajar menurut
konstruktivistik sosial adalah proses perubahan perilaku yang terjadi sebagai
akibat munculnya pemahaman baru yang dibangun dalam konteks sosial sebelum
menjadi bagian pribadi individu.
Menurut Santrock (2008) salah satu asumsi penting dari konstruktivistik
sosial adalah situated cognition yaitu ide bahwa pemikiran
selalu ditempatkan (disituasikan) dalam konteks sosial dan fisik, bukan dalam
pikiran seseorang. Konsep situated cognition menyatakan bahwa
pengetahuan dilekatkan dan dihubungkan pada konteks di mana pengetahuan
tersebut dikembangkan. Jadi idealnya, situasi pembelajaran diciptakan semirip
mungkin dengan situasi dunia nyata.
Menurut
Vygotsky dalam Slavin (2008) ada empat prinsip konstruktivistik sosial:
1)
Pembelajaran Sosial (social learning)
Pendekatan
pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan
bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman
yang lebih cakap. Pembelajaran kooperatif yaitu pembelajaran yang terjadi
ketika murid bekerja dalam kelompok kecil untuk saling membantu dalam belajar.
2)
Zone of Proximal Development (ZPD)
Bahwa siswa
akan mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja
dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat
memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer).
Bantuan atau support diberikan agar siswa mampu mengerjakan tugas atau soal
yang lebih tinggi tingkat kerumitannya daripada tingkat perkembangan kognitif
anak.
Bila materi
yang diberikan di luar ZPD maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama,
materi tersebut tidak menantang atau terlalu mudah untuk diselesaikan. Kedua,
materi yang disajikan terlalu tinggi dibandingkan kemampuan awal sehingga anak
kesulitan untuk menguasai apalagi menyelesaikannya, bahkan anak bisa mengalami
frustasi.
3)
Cognitive Apprenticeship
Yaitu proses
yang digunakan seorang pelajar untuk secara bertahap memperoleh keahlian
melalui interaksi dengan pakar, bisa orang dewasa atau teman yang lebih
tua/lebih pandai. Pengajaran siswa adalah suatu bentuk masa
magang/pelatihan. Awalnya, guru memberi contoh kepada siswa kemudian membantu
murid mengerjakan tugas tersebut. Guru mendorong siswa untuk melanjutkan
tugasnya secara mandiri.
4)
Pembelajaran
Termediasi (Mediated Learning)
Vygostky
menekankan pada scaffolding yaitu bantuan yang diberikan oleh orang lain
kepada anak untuk membantunya mencapai kemandirian. Siswa diberi masalah
yang kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi
bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa. Bantuan yang diberikan guru
dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam
bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga
kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu:
- Siswa mencapai keberhasilan
dengan baik.
- Siswa mencapai keberhasilan
dengan bantuan.
- Siswa gagal meraih
keberhasilan.
Dari uraian
di atas maka secara garis besar perbedaan antara konstruktivistik kognitif dan
konstruktivistik sosial sebagai berikut:
Aspek
|
Konstruktivistik Kognitif
|
Konstruktivistik Sosial
|
Pengetahuan
|
Dibangun
secara individual dan internal. Sistem pengetahuan secara aktif dibangun oleh
pebelajar berdasarkan struktur yang sudah ada
|
Dibangun
dalam konteks sosial sebelum menjadi bagian pribadi individu
|
Pandangan
terhadap interaksi
|
Menimbulkan
disequilibration yang mendorong individu mengadaptasi skema-skema yang ada
|
Meningkatkan
pemahaman yang telah ada sebelumnya dari hasil interaksi
|
Belajar
|
Proses
asimilasi dan akomodasi aktif pengetahuan-pengetahuan baru ke dalam struktur
kognitif yang sudah ada
|
Integrasi
siswa ke dalam komunitas pengetahuan. Kolaborasi informasi baru untuk
meningkatkan pemahaman
|
Strategi
belajar
|
Experience
based & discovery oriented
|
Sharing
& Cooperative learning
|
Peran guru
|
Minimal
& lebih membiarkan siswa menemukan sendiri ide sehingga posisi guru
sebagai pengajar menjadi kabur
|
Penting
dalam membantu (scaffolding) siswa mencapai kemandirian melalui
interaksi sosial.
|
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan adalah
sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme
adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk
menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang
sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan
keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan
memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik
diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.
2.
Nilai-nilai Konstruktivistik
Menurut
Lebow dalam Hitipeuw (2009) nilai-nilai konstruktivistik yang utama adalah:
- Collaboration: apakah tugas-tugas
pembelajaran dicapai melalui kerjasama dengan komunitasnya atau tidak?
- Personal autonomy: apakah kepentingan pribadi
pembelajar menentukan kegiatan dan proses pembelajaran yang diterimanya?
- Generativity: apakah ada kemungkinan
pembelajar didorong untuk membangun dan menemukan sendiri prinsip-prinsip
dan didorong untuk mengelaborasi apa yang diterima?
- Reflectivity: apakah setelah pembelajaran
selesai misalnya, pembelajar bisa melihat manfaat dari apa yang telah
dipelajarinya dan apakah dia menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk
memperbaiki belajarnya sesuai dengan konteksnya?
- Active engagement: apakah setiap individu terlibat
secara aktif dalam belajar untuk membangun pemahamannya atau pembelajar
lebih pada menerima saja apa yang diberikan?
- Personal relevance: apakah pembelajar bisa melihat
keterkaitan dari apa yang dipelajarinya dengan kehidupannya sendiri?
- Pluralism: apakah pembelajarannya tidak
menekankan pada satu cara atau satu solusi? Apakah semua pendapat pribadi
mendapat tempat dalam dialog pembelajaran?
3.
Prinsip-prinsip Utama Konstruktivistik dalam Pembelajaran
Menurut Hitipeuw
(2009) prinsip-prinsip utama konstruktivistik dalam pembelajaran di kelas
adalah:
- The best learning is situated
learning.
Pembelajar memecahkan masalah, menjalankan tugas, belajar materi baru
dalam suatu konteks yang bermanfaat bagi pembelajar dan berkaitan dengan
dunia nyata.
- Pembelajar dalam proses
belajarnya mendapatkan scaffolding yang bisa datang dari guru atau
teman dalam mengembangkan pemahaman atau keterampilan barunya. Di sini,
konstruktivistik mendorong apprenticeship approach (cognitive apprenticeship),
menunjukkan pada proses di mana seorang pembelajar memperoleh keahlian
secara perlahan-lahan melalui interaksi dengan seorang ahli, apakah
seorang dewasa atau dua orang yang lebih maju darinya.
- Mengkaitkan semua kegiatan
belajar ke dalam tugas atau problema yang lebih besar. Tujuannya agar
pembelajar dapat melihat relevansi tujuan belajarnya yang spesifik dan
kaitannya dengan tugas yang lebih besar dan kompleks sehingga kelak mereka
dapat berfungsi lebih efektif dalam kehidupan nyata.
- Membantu pembelajar dalam
mengembangkan rasa memiliki atas semua masalah dan tugasnya. Jadi bukan
sekedar lulus tes.
- Mendesain tugas yang autentik.
Membuat tugas-tugas yang menantang kognitif siswa dalam belajar sains
misalnya seperti layaknya ilmuwan. Problem atau tugas bisa dinego dengan
pembelajar agar sesuai dengan tuntutan kognitif dan dapat mendorong rasa
memiliki.
- Mendesain tugas dan lingkungan
belajar yang merefleksikan kompleksitas lingkungan yang kelak pembelajar
diharapkan berfungsi di dalamnya.
- Memberi kesempatan bagi
pembelajar untuk memiliki dan menemukan proses mendapatkan solusi.
- Mendesain lingkungan pembelajar
yang mendukung dan menantang pemikiran pembelajar. Di sini guru bertindak
sebagai konsultan atau pelatih sesuai dengan konsep scaffolding &
zone of proximal development dari Vygotsky.
Selain
prinsip di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses
pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
1) Mengutamakan
pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan;
2) Mengutamakan
proses;
3) Menanamkan
pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial;
4) Pembelajaran
dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.
4.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Konstruktivistik
a. Kelebihan :
1)
Pembelajaran konstruktivistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri.
2)
Pembelajaran konstruktivistik memberi pengalaman yang berhubungan dengan
gagasan yang telah dimiliki siswa sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan
memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
3)
Pembelajaran konstruktivistik memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang
pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif,
mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada
saat yang tepat.
4)
Pembelajaran konstruktivistik memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba
gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan
menggunakan berbagai konteks.
5)
Pembelajaran konstruktivistik mendorong siswa untuk memikirkan perubahan
gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa
untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
6)
Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang
mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan
selalu ada satu jawaban yang benar.
b.
Kelemahan :
1)
Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi
siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ahli sehingga menyebabkan
miskonsepsi.
2)
Konstruktivistik menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal
ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan
yang berbeda-beda.
3)
Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah
memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.
D.
IMPLIKASI TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK DALAM SETTING BK
Berdasarkan
teori belajar dan pembelajaran konstruktivistik maka ada beberapa penerapan
dalam bimbingan dan konseling yaitu:
1.
Bimbingan
kelompok
Menurut
Romlah (2006) bimbingan kelompok adalah proses pemberian bantuan yang diberikan
pada individu dalam situasi kelompok. Bimbingan kelompok ditujukan untuk
mencegah timbulnya masalah pada siswa dan mengembangkan potensi siswa. Ada
beberapa teknik yang biasa digunakan dalam pelaksanaan bimbingan kelompok
antara lain: pemberian informasi (ekspositori), diskusi kelompok, pemecahan
masalah (problem solving), penciptaan suasana kekeluargaan (home room),
permainan peranan (role playing), karyawisata, dan permainan simulasi.
2.
Konseling
kelompok
Menurut
Romlah (2006) konseling kelompok adalah usaha bantuan yang diberikan kepada
individu dalam situasi kelompok dalam rangka memberikan kemudahan atau
kelancaran dalam perkembangan individu yang bersifat perbaikan dan pencegahan.
3.
Konseling
Teman Sebaya (Peer Konseling)
Konseling
teman sebaya sebagai suatu ragam tingkah laku membantu secara interpersonal
yang dilakukan oleh individu nonprofesional yang
berusaha membantu orang lain. Konseling sebaya memungkinkan
siswa untuk memiliki keterampilan-keterampilan guna mengimplementasikan
pengalaman kemandirian dan kemampuan mengontrol diri
yang sangat bermakna bagi remaja. Konseling
sebaya memberikan kontribusi pada dimilikinya pengalaman yang kuat yang
dibutuhkan oleh para remaja yaitu respect.
4.
Konseling
Postmodern
Konstruktivisme
sosial adalah perspektif terapeutik dalam pandangan postmodern, yang menekankan
realitas klien apakah akurat atau rasional (Weishaar 1993 dalam Corey 2005).
Pada dasarnya semua pengetahuan bersifat relatif karena ia selalu ditentukan oleh
konstruk, budaya, bahasa atau teori yang kita terapkan pada suatu fenomen
tertentu. Pendekatan konseling postmodern adalah Solution Focused Brief
Therapy (SFBT) dan naratif. Dalam beberapa literatur SFBT disebut Terapi
Konstruktivis (Constructivist Therapy).
B. Langkah-Langkah Pembelajaran Kontrutivisme
1. Identifikasi tujuan. Tujuan dalam pembelajaran akan memberi arah dalam
merancang program, implementasi program dan evaluasi.
2. Menetapkan Isi Produk Belajar. Pada tahap ini, ditetapkan konsep-konsep
dan prinsip-prinsip fisika yang mana yang harus dikuasai siswa.
3. Identifikasi dan Klarifikasi Pengetahuan Awal Siswa. Identifikasi
pengetahuan awal siswa dilakukan melalui tes awal, interview klinis dan peta
konsep.
4. Identifikasi dan Klarifikasi Miskonsepsi Siswa. Pengetahuan awal siswa
yang telah diidentifikasi dan diklarifikasi perlu dianalisa lebih lanjut untuk
menetapkan mana diantaranya yang telah sesuai dengan konsepsi ilmiah, mana yang
salah dan mana yang miskonsepsi.
5. Perencanaan Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsep. Program
pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran. Sedangkan strategi
pengubahan konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk modul.
6. Implementasi Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsepsi.
Tahapan ini merupakan kegiatan aktual dalam ruang kelas. Tahapan ini terdiri
dari tiga langkah yaitu : (a) orientasi dan penyajian pengalaman belajar,
(b)menggali ide-ide siswa, (c) restrukturisasi ide-ide.
7. Evaluasi. Setelah berakhirnya kegiatan implementasi program pembelajaran,
maka dilakukan evaluasi terhadap efektivitas model belajar yang telah
diterapkan.
8. Klarifikasi dan analisis miskonsepsi siswa yang resisten. Berdasarkan
hasil evaluasi perubahan miskonsepsi maka dilakukaan klarifikasi dan analisis
terhadap miskonsepsi siswa, baik yang dapat diubah secara tuntas maupun yang
resisten.
9. Revisi strategi pengubahan miskonsepsi. Hasil analisis miskonsepsi yang
resisten digunakan sebagai pertimbangan dalam merevisi strategi pengubahan
konsepsi siswa dalam bentuk modul.
*Adapun
tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:
- Adanya motivasi untuk siswa
bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri. Mengembangkan
kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri
pertanyaannya.
- Membantu siswa untuk
mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
- Mengembangkan kemampuan siswa
untuk menjadi pemikir yang mandiri.
- Lebih menekankan pada proses
belajar bagaimana belajar itu.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori
belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini
biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan
kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar,
yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa.
Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri
tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori
motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar,
1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak
melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru
dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran
karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat
(Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental
yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau
memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu
(Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam
mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.
Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993;
Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
*Peranan
kunci guru dalam interaksi pembelajaran adalah pengendalian, yang meliputi:
- Menumbuhkan
kemandiriran dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan
bertindak.
- Menumbuhkan
kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan siswa.
- Menyediakan
sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai
peluang optimal untuk berlatih.
Pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa peranan
utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan,
lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan
tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya
tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan
terlatih untuk berfikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri,
kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara
rasional.
Pandangan konstruktivisme mengemukakan bahwa
lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan
interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta
aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Pandangan
konstruktivisme mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia
mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya.
Konstruktivisme mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang
mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan
yang digunakan untuk menginterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa.
Pandangan konstruktivisme mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam
menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan terhadap dunia nyata, dimana
interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Teori belajar konstruktivisme mengakui bahwa siswa
akan dapat menginterpretasikan informasi kedalam pikirannya, hanya pada konteks
pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan
minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi
fungsi konseptual dunia eksternal. Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivisme
dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang
menggambarkan proses berfikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada
taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada
taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi
pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.
Pembahasan diarahkan pada hal-hal seperti, karakteristik manusia masa depan
yang diharapkan, konstruksi pengetahuan, dan proses belajar menurut teori
konstruktivistis. Kajian diakhiri dengan memaparkan perbandingan pembelajaran
tradisional (behavioristik) dengan pembelajaran konstruktivistik.
- 1.
Karakteristik Manusia Masa Depan yang Diharapkan
Upaya membangun sumber daya manusia ditentukan oleh karakteristik manusia
dan masyarakat masa depan yang dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan
yang dikehendaki tersebut adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan,
kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan,
mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus
untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses … (to)
learn to be. Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas
dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990).
Kepekaan, bearti ketajaman baik dalam arti kemampuan berpikirnya, maupun
kemudah tersentuhan hati nurani di dalam melihat dan merasakan segala sesuatu,
mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan yang
merupakan gubahan Sang Pencipta. Kemandirian, berarti kemampuan menilai proses
dan hasil berfikir sendiri di samping proses dan hasil berfikir orang lain,
serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar dan perlu.
Tanggung jawab, berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan
serta tindakan sendiri. Kolaborasi, bearti disamping mampu berbuat yang terbaik
bagi dirinya sendiri, individu dengan ciri-ciri diatas juga mampu bekerja sama
dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan bersama.
Langkah strategis bagi perwujudan tujuan diatas adalah adanya layanan ahli
kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi. Student active
learning atau pendekatan cara belajar siswa aktif didalam pengelolaan
kegiatan belajar mengajar yang mengakui sentralitas peranan siswa didalam
proses belajar, adalah landasan yang kokoh bagi terbentuknya manusia-manusia
masa depan yang diharapkan. Pilihan tersebut bertolak dari kajian-kajian
kritikal dan empirik disamping pilihan masyarakat (Raka Joni, 1990)
Penerapan ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang
bermakna bagi manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk
melaksanakannya diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap aspek
strategis pendekatan yang tepat memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia
masa depan yang memiliki karakteristik diatas. Kajian terhadap teori belajar
konstruktivistik dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan menuju
kepada tujuan tersebut.
- 2. Konstruksi
Pengetahuan
Untuk
memperbaiki pendidikan terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia
belajar dan bagaimana cara mengajarnya. Kedua kegiatan tersebut dalam rangka
memahami cara manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan
peristiwa-peristiwa yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan
menggunakan hal-hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya.
Demikian juga, manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka
sendiri. Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Pada bagian
ini akan dibahas teori belajar konstruktivistik kaitannya dengan pemahaman
tentang apa pengetahuan itu, proses mengkonstruksi pengetahuan, serta hubungan
antara pengetahuan, realitas, dan kebenaran.
Apa pengetahuan itu? Menurut pendekatan konstruktivistik, pengetahuan
bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai
kunstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya.
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang
lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang
terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena
adanya pemahaman-pemahaman baru.
Pengetahuan
bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah
mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan
tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya
tentang sesuatu kepada siswa, pentransfer itu akan diinterpretasikan dan
dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka
sendiri.
Proses mengkonstruksi pengetahuan. Manusia dapat mengetahui sesuatu
dengan menggunakan inderanya. Melalui interaksinya dengan objek dan
lingkungannya, misalnya dengan melihat, mendengar,menjamah, mambau, atau
merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan bukanlah sesuatu
yang sudah ditentukan melainkan sesuatu proses pembentukan. Semakin banyak
seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya, pengetahuan dan
pemahamannya akan objek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih rinci.
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada
beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan,
yaitu;
1)
Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman
2)
Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan
3)
Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya.
Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan
adalah konstruksi pengetahuan yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur
kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah
dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan
datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam
membentuk dan mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada
suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan
yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur
kognitif dalam dirinya.
- 3. Proses
Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Proses
belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya
melaui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi
pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Ada beberapa
pandangan dari segi konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan
guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
Proses belajar konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar
jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang
berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai
pemberian makna oleh siswa kepada pengalamanya melalui proses asimilasi dan
akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan
belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan
pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…..constructing
and restructuring of knowledge and skills (schemata) within the
individual in a complex network of increasing conceptual consistency…..”. pemberian
makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan
secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan
sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun diluar kelas.
Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa
dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan dan lingkungan
belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan
dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
Peranan Siswa (Si-Belajar). Menurut pandangan konstrktivistik,
belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus
dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir,
menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru
memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi
peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan
terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah
lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada
siswa.
Paradigma
konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan
awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar
dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan
awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru,
sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
Peranan Guru. Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik
berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan
lancar. Guru hanya membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru
dituntut lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belaajar.
Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama
dan sesuai dengan kemauannya.
Sarana belajar. Pendekatan
konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah
aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu
seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan
untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan
pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara
demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berfikir sendiri, memecahkan
masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung
jawabkan pemikirannya secara rasional.
Evaluasi belajar. Pandangan
konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung
munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi
pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar
konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar antara pandangan
behavioristik (tradisional) yang obyektifis konstruktivistik. Pembelajaran yang
diprogramkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifis, sedangkan Piagetian
dan tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah pada
konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk menyampaikan pengetahuan tersebut.
Realitas dunia dan strukturnya dapat dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman
seseorang akan dihasilkan oleh proses-proses eksternal dari struktur dunia
nyata tersebut, sehingga belajar merupakan asimilasi objek-objek nyata. Tujuan
para perancang dan guru-guru tradisional adalah menginterpretasikan
kejadian-kejadian nyata yang akan diberikan kepada para siswanya.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa
siswa akan dapat menginterpretasikan informasi kedalam pikirannya, hanya pada
konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar
belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman
representasi fungsi konseptual dunia eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi
secara individual, bagaimana mengevaluasinya?
Evaluasinya belajar pandangan behavioristik
tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar. Sedangkan pandangan
konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu
konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi
akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan
selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai,
proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada
evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan
pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa.
Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria
merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori
konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih cepat dinilai dengan
metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil
belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi
tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat
diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang
menggambarkan proses berfikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada
taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada
taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi
pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.