Rabu, 13 November 2013

ILMU PENDIDIKAN SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN





A.  ANCAMAN KEMATIAN ILMU PENDIDIKAN
Konsepsi ilmu pendidikan dibangun dari dua istilah,yaitu ilmu dan pendidikan. Ilmu merupakan organisasi sistematik dari suatu bangunan pengetahuan beserta pengembangannya. Pada umumnya ilmu diperoleh melalui observasi dan eksperimentasi secara ilmiah. Dalam arti luas, ilmu mencakup semua pengetahuan termasuk matematika dan filsafat. Sedangkan dalam pengertian umum pendidikan merupakan usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan.
Memasuki era mazhab, guru bidang studi, ilmu pendidikan mengalami ancaman yang luar biasa. Berbagai program studi yang tergabung dalam ranah ilmu pendidikan (sosiologi pendidikan, administrasi pendidikan, atau manajemen pendidikan, filsafat pendidikan, kurikulum dan pengajaran, atau kurikulum dan teknologi pendidikan, pendidikan luar sekolah dan sejenisnya) dihanguskan karena semua perguruan tinggi hanya menerima bidang studi murni. Bersamaan dengan itu maka muncul adagium (pepatah) bahwa “ilmu pendidikan telah mati”, sehingga disiplin pendidikan akhirnya menjelma sebagai mata kuliah biasa bukan sebagai bidang studi atau jurusan.
Melihat fenomena seperti itu, maka muncul bersamaan sebuah perlawanan, karena makin nyata banyak orang yang bekerja di bidang pendidikan, termasuk guru bertindak dengan cara tanpa ilmu pendidikan. Saat ini makin marak pada jenjang setara 2, meski sebagian terkesan asal-asalan: asal ada mahasiswanya, asal terdaftar sebagai mahasiswa, asal ada tesis meski melalui jawa joki, asal lulus dsb.
Praktek kependidikan tanpa ilmu pendidikan pun ternyata menerima banyak kritik dari kalangan praktisi dan pengamat. Muncul tudingan kuat, sekolah-sekolah hanya menggiring anak-anak cerdas secara intelektual, tetapi sangat langkah mereka yang berbudi. Kemudian muncul harapan baru untuk menggunakan ilmu pendidikan sebagai dasar menata afektif anak didik, sementara bidang studi berfokus pada kecerdasan intelektual.

Lembaga pendidikan saat ini makin marak bersaing. Siswa taman kanak-kanak (TK) yang didelegasikan sebagai wahana bermain, sebagian bermetamorfosis menjadi wahana belajar. Hal ini dikarenakan belakangan diketahui bahwa diam-diam Sekolah Dasar (SD) menjadikan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sebagai dasar seleksi, khususnya pada sekolah-sekolah yang relatif kompetitif. Calon siswa yang tidak memiliki bekal dasar semacam itu, akhirnya tersortir dan masuk sekolah yang tidak menjadi pilihan utamanya. Sehingga ketika memasuki SD pun sebagian anak didik kita telah belajar dari tekanan psikologis yaitu masuk sekolah yang bukan pilihan utamanya, dan biasanya berlanjut sampai perguruan.
Tindakan semacam ini ada nilai positifnya. Sejak awal anak-anak telah diajak tampil kompetitif, jika tidak mereka akan tersortir. Dalam hal ini merupakan pukulan awal bagi mereka untuk kelak menjadi manusia berpendidikan. Fenomena semacam ini sadar atau tidak sadar dilegitimasi oleh pelaku pendidikan di sekolah. Disatu sisi sekolah mengajarkan kompetitif, tapi disisi lain dapat menumbuh suburkan kesenjangan sosial, yang seolah-olah sebagai hukum alam yang mendasar. Akhirnya sejak awal anak-anak sudah mengenal ekonomi yang mengedepankan imbalan atas prestasi dan hukuman atas kinerja di bawah standar.

B.  ILMU DAN KETRAMPILAN PENDIDIKAN
Ilmu pendidikan adalah ilmu yang mempelajari serta memproses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Ilmu pendidikan secara pedagonik juga bermakna proses, cara, dan perbuatan mendidik. Mendidik itu sendiri berkaitan dengan upaya meningkatkan pengetahuan, pengertian, kesadaran dan toleransi pada diri pembelajar. Mendidik juga dimaksudkan untuk meningkatkan “questionong skill” dan kemampuan menganalisis fenomena kependidikan.
Ilmu pendidikan menjadi basis dasar setiap perilaku kependidikan dan terutama pembelajaran dalam rangka membangun kedewasaan individu dengan sistem, prosedur, dan substansi yang benar secara manusiawi. Meningkatkan dan mengembangkan kedewasaan individu melalui pendidikan sejatinya adalah “pengubahan sikap dan tata laku seseorang”. Namun pmikiran ini bisa salah apabila salah penafsiran/penafsiran sepihak, misalnya: dari sisi pandang guru semata, masyarakat semata, atau siswa semata. Dalam pemikiran berkaitan dengan pengubahan tingkah laku harus jelas: (a) dengan cara apa, seperti apa, oleh siapa, (b) sesuai dengan keinginan siapa, (c) untuk memperoleh keuntungan bagi siapa, (d) atas dasar keseragaman atau keberagaman seperti apa. Membangun manusia seutuhnya melalui pendidikan menjadi keniscahyaan untuk menghargai kreativitas dan pemikiran individu, agar pelaku kependidikan dapat membuat sesuatu yang baru dan lebih baik, tidak hanya sekedar menyalin dari praktek kependidikan ditempat lain. Menurut N. Chacon (2002) dalam rangka pengembangan kemampuan dan ketrampilan kependidikan juga perlu upaya mengembangkan etika profesi guru, dengan mengemaskan program dari beberapa dimensi, antara lain:
1.   Penguasaan substansi pengajaran dan pembelajaran, meliputi ilmu pengetahuan, budaya, ketrampilan, nilai, dan sikap dalam integrasi sekolah dan pendidikan.
2.  Penguasaan dimensi, teori dan praktek kependidikan, khususnya berkaitan dengan nilai-nilai humanistik dan etika profesi.
3.  Penguasaan program pendidikan berbasis proses dan hasil dalam keseluruhan perilaku pekerjaan kependidikan.
4.  Pengusaan metode proses pengembangan kegiatan belajar dengan menggunakan perangkat teknologi.
C. RANAH ILMU PENDIDIKAN
Ilmu pendidikan esensinya adalah ilmu yang dibangun, dikembangkan, dan diaplikasikan di dunia pendidikan. Awalnya, tindakan pendidikan ditafsirkan sebagai aplikasi praktis semata. Belakangan ini ilmu pendidikan telah berkembang sebagai disiplin ilmu yang matang setara dengan ilmu-ilmu lain dilihat dari prosedur dan strategi pengembangannya.
Dalam makna umum ilmu pendidikan terdiri dari dua ranah, yaitu ilmu pendidikan teoritis dan ilmu pendidikan praktis. Ilmu pendidikan teoritis berkaitan tentang teori-teori pendidikan. Ilmu pendidikan praktis berkaitan dengan aplikasi ilmu dalam praktik kependidikan objek studi ilmu pendidikan adalah berbagai aspek interaksi psikologi-sosial budaya antara guru dan siswa. Dalam hal ini, siswa atau peserta didik adalah sebagai subjek dengan segala karakteristik pribadi, kebutuhan, aspirasi serta nilai-nilai yang dianutnya. Menurut Engkoswara (1997) objek studi ilmu pendidikan mempunyai lima komponen inti, yaitu:
1.  Kurikulum
2.  Kegiatan belajar
3.  Perbuatan mendidik dan mengajar
4.  Lingkungan pendidikan
5.  Penilaian pendidikan

D.  ILMU DAN PROSES KERJA PENDIDIKAN
Ilmu pendidikan tidak hanya berkuat pada ilmu dan seni mengajar, melainkan ada hubungannya dengan pembentukan generasi baru, yaitu pengaruh pendidikan sebagai sistem yang bermuara pada pengembangan individu atau peserta didik. Penekanan pada aspek pengajaran terus menerus dari proses asimilasi merupakan upaya intelektual yang intensif pada diri siswa. Karena itu, proses pendidikan dalam kerangka aplikasi ilmu pendidikan juga didefinisikan sebagai proses pendidikan dan pengajaran secara keseluruhan dan bermuara pada pembentukan kepribadian siswa. Dalam proses ini hubungan aktif dan sosial yang dibangun antara guru dan siswa melahirkan pengaruh timbal balik mereka untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam kerangka analisis proses menjadi penting untuk mempertimbangkan beberapa prinsip yang memandu proses itu berlangsung. Proses pendidikan sejati di pandu oleh kesatuan karakter ilmiah dan idiologis ini menyoroti bahwa setiap proses pendidikan harus terstruktur berdasarkan temuan yang paling maju di bidang sains kontenporer dan dalam korespondensi total dengan ideologi kita. Selain itu prinsip hubungan sekolah dan kehidupan didasarkan pada dua aspek penting: kaitan antara kehidupan dan pekerjaan sebagai kegiatan yang mendidik manusia.
Dengan demikian, setiap konten yang pembelajar ambil di sekolah harus berguna dalam kehidupan sehari-hari, kini dan kelak. Prinsip lain yang berorientasi proses ini adalah salah satu yang mengkombinasikan karakter kolektif dan individual pendidikan, serta penghormatan terhadap kepribadian siswa. Ini berarti bahwa, jika pendidikan terjadi dalam konteks sekelompok orang, yang dikumpulkan sesuai dengan kriteria yang berbeda dan mengadopsi karakteristik tertentu.
Prinsip berikutnyaadalah merujuk pada kesatuan pengajaran, pendidikan dan perkembangan proses, karena didasrkan pada kesatuan dialektis antara pendidikan dan pengajaran yang harus terkait dengan kegiatan pembangunan pada umumnya. Pendidikan dan pengajaran tidak identik dengan kesatuan dialektis, karena itu kedua istilah (pendidikan dan pengajaran) tidak dapat dipertukarkan, namun saling melengkapi. Jadi, ketika seseorang menempuh pendidikan dia harus menjalani proses pembelajaran yang baik. Dengan menjalani proses pembelajaran yang baik, seseorang akan mencapai keterdidikan, dalam makna terwujudnya pencapaian jaminan pengembangan pribadi.
Prinsip terakhir dari proses pedagogis adalah, bahwa masing-masing subsistem aktivitas, komunikasi dan kepribadian saling terkait satu sama lain. Misalnya, aspek kepribadian dibentuk dan dikembangkan atas aktivitas, dan melalui proses komunikasi. Sepanjang seluruh hidupnya, siswa menjalankan sejumlah besar kegiatan dan berkomunikasi terus menerus.         

KONSEP DASAR TEORI KONSTRUKTIVISTIK



Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Menurut Slavin (2006) teori konstruktivistik adalah teori yang menyatakan bahwa peserta didik secara individual harus menemukan dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi yang baru terhadap aturan-aturan informasi yang lama, dan merevisi aturan-aturan yang lama bila sudah tidak sesuai lagi.
Menurut Santrock (2008) konstruktivisme adalah pendekatan untuk pembelajaran yang menekankan bahwa individu akan belajar dengan baik apabila mereka secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dan pemahaman.
Hakikat pembelajaran konstruktivistik menurut Brooks & Brooks (1993) adalah pengetahuan bersifat non-objektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna. Atas dasar ini, maka siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalaman dan perspektif yang digunakan dalam menginterpretasikannya.
Gambar: Carta Alir Proses Konstruktivisme
B.       PERBEDAAN ANTARA TEORI BEHAVIORISTIK DENGAN TEORI KONSTRUKTIVISTIK
Sebelum membahas lebih jauh tentang teori belajar dan pembelajaran konstruktivistik maka lebih dahulu perlu disajikan perbandingan antara teori behavioristik dengan teori konstruktivistik mengingat keduanya memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Aspek
Behavioristik
Konstruktivistik
Pengetahuan
Objektif, pasti, dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi
Tidak objektif, temporer, selalu berubah, dan tidak menentu
Belajar
Perolehan pengetahuan
Penyusunan pengetahuan dari pengalaman nyata, aktivitas kolaboratif, refleksi serta interpretasi
Mengajar
Pemindahan pengetahuan ke orang yang belajar
Penataan lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan
Pemahaman
Siswa diharapkan memiliki pemahaman yangs sama terhadap pengetahuan yang diajarkan
Siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalaman, dan persepektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya
Mind
Men-jiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan
Sebagat alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik
C.      TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
1.        Ragam Teori Konstruktivistik
a.        Konstruktivistik Kognitif
Ketidakpuasan terhadap behaviorisme yang fokus pada tingkah laku teramati telah membawa Jean Piaget untuk mengembangkan satu pendekatan belajar yang lebih menaruh perhatian pada “apa yang terjadi pada kepala anak”. Pengertian belajar menurut konstruktivistik kognitif adalah proses perubahan dalam struktur kognitif seorang individu sebagai hasil konstruksi pengetahuan yang bersifat individual dan internal. Adapun konsep pokok Jean Piaget sebagai berikut:
1)        Equilibrium/Disequilibrium
Situasi ketidaktahuan atau konflik dalam diri individu yang disebabkan rasa ingin tahu, menyebabkan seseorang berada dalam ketidakseimbangan yang disebut disequilibrium. Manusia berusaha mengatasi kondisi disequilibrium yang tidak menyenangkan dengan bertanya, membaca, mendatangi kejadian, dan semacamnya agar tercipta kondisi equilibrium. Sehingga disequilibrium menjadi drive for equilibration atau menjadi dorongan/motivasi untuk bertindak.
2)        Organisasi & Skema
Perlu diketahui bahwa apa yang dipelajari anak tidak masuk begitu saja kealam berpikir anak, atau dengan kata lain apa yang masuk, tidak tersimpan secara acak-acakan ke dalam otak. Apa yang masuk akan disusun sedemikian rupa agar berkaitan dengan kerangka berpikir yang dimilikinya yang disebut pengorganisasian.
Setiap struktur atau hirarki dari pengorganisasian semua pengetahuan yang dimiliki individu terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan membentuk kerangka struktur yang disebut skema. Dalam pembelajaran, tiap materi yang dipelajari sebaiknya dikaitkan dengan pengalaman anak sebelumnya (skema) agar terkoneksi dengan struktur kognitif siswa.
3)        Adaptasi : Asimilasi & Akomodasi
Terkadang saat memperoleh pengalaman baru dan pada saat bersamaan kita mengetahui bahwa pengalaman sebelumnya yang sudah dimiliki ternyata sudah tidak sesuai lagi. Proses penyesuaian skema dengan pengalaman baru dalam upaya mempertahankan equilibrium disebut adaptasi.
Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan akomodasi adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Selain Piaget, ada tokoh konstruktivistik kognitif lain yakni Jerome Bruner dengan discovery learning (belajar penemuan) di mana siswa belajar dengan caranya sendiri untuk menemukan prinsip-prinsip dasar. Dalam discovery learning siswa didorong untuk belajar lebih jauh lagi menurut caranya sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa mendapatkan pengalaman-pengalaman serta melakukan eksperimen.
 b.        Konstruktivistik Sosial
Berbeda dengan konstruktivistik kognitif dimana anak cenderung lebih bebas mengkonstruk sendiri pengetahuannya dan  peran guru yang akhirnya kabur dan tidak jelas sebagai pengajar. Sebaliknya, konstruktivistik sosial yang dipelopori Vygotsky mengedepankan pengkonstruksian pengetahuan dalam konteks sosial sehingga peran guru menjadi jelas dalam membantu anak mencapai kemandirian. Dari Piaget ke Vygotsky ada pergeseran konseptual dari individual ke kolaborasi, interaksi sosial, dan aktivitas sosiakultural. Pengertian belajar menurut konstruktivistik sosial adalah proses perubahan perilaku yang terjadi sebagai akibat munculnya pemahaman baru yang dibangun dalam konteks sosial sebelum menjadi bagian pribadi individu.
Menurut Santrock (2008) salah satu asumsi penting dari konstruktivistik sosial adalah situated cognition yaitu ide bahwa pemikiran selalu ditempatkan (disituasikan) dalam konteks sosial dan fisik, bukan dalam pikiran seseorang. Konsep situated cognition menyatakan bahwa pengetahuan dilekatkan dan dihubungkan pada konteks di mana pengetahuan tersebut dikembangkan. Jadi idealnya, situasi pembelajaran diciptakan semirip mungkin dengan situasi dunia nyata.
Menurut Vygotsky dalam Slavin (2008) ada empat prinsip konstruktivistik sosial:
1)        Pembelajaran Sosial (social learning)
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap. Pembelajaran kooperatif yaitu pembelajaran yang terjadi ketika murid bekerja dalam kelompok kecil untuk saling membantu dalam belajar.
2)        Zone of Proximal Development (ZPD)
Bahwa siswa akan mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer). Bantuan atau support diberikan agar siswa mampu mengerjakan tugas atau soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya daripada tingkat perkembangan kognitif anak.
Bila materi yang diberikan di luar ZPD maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, materi tersebut tidak menantang atau terlalu mudah untuk diselesaikan. Kedua, materi yang disajikan terlalu tinggi dibandingkan kemampuan awal sehingga anak kesulitan untuk menguasai apalagi menyelesaikannya, bahkan anak bisa mengalami frustasi.
3)        Cognitive Apprenticeship
Yaitu proses yang digunakan seorang pelajar untuk secara bertahap memperoleh keahlian melalui interaksi dengan pakar, bisa orang dewasa atau teman yang lebih tua/lebih pandai.  Pengajaran siswa adalah suatu bentuk masa magang/pelatihan. Awalnya, guru memberi contoh kepada siswa kemudian membantu murid mengerjakan tugas tersebut. Guru mendorong siswa untuk melanjutkan tugasnya secara mandiri.
4)        Pembelajaran Termediasi (Mediated Learning)
Vygostky menekankan pada scaffolding yaitu bantuan yang diberikan oleh orang lain kepada anak untuk membantunya mencapai kemandirian. Siswa diberi  masalah  yang  kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu:
  1. Siswa mencapai keberhasilan dengan baik.
  2. Siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan.
  3. Siswa gagal meraih keberhasilan.
Dari uraian di atas maka secara garis besar perbedaan antara konstruktivistik kognitif dan konstruktivistik sosial sebagai berikut:
Aspek
Konstruktivistik Kognitif
Konstruktivistik Sosial
Pengetahuan
Dibangun secara individual dan internal. Sistem pengetahuan secara aktif dibangun oleh pebelajar berdasarkan struktur yang sudah ada
Dibangun dalam konteks sosial sebelum menjadi bagian pribadi individu
Pandangan terhadap interaksi
Menimbulkan disequilibration yang mendorong individu mengadaptasi skema-skema yang ada
Meningkatkan pemahaman yang telah ada sebelumnya dari hasil interaksi
Belajar
Proses asimilasi dan akomodasi aktif pengetahuan-pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang sudah ada
Integrasi siswa ke dalam komunitas pengetahuan. Kolaborasi informasi baru untuk meningkatkan pemahaman
Strategi belajar
Experience based & discovery oriented
Sharing & Cooperative learning
Peran guru
Minimal & lebih membiarkan siswa menemukan sendiri ide sehingga posisi guru sebagai pengajar menjadi kabur
Penting dalam membantu (scaffolding) siswa mencapai kemandirian melalui interaksi sosial.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
2.        Nilai-nilai Konstruktivistik
Menurut Lebow dalam Hitipeuw (2009) nilai-nilai konstruktivistik yang utama adalah:
  1. Collaboration: apakah tugas-tugas pembelajaran dicapai melalui kerjasama dengan komunitasnya atau tidak?
  2. Personal autonomy: apakah kepentingan pribadi pembelajar menentukan kegiatan dan proses pembelajaran yang diterimanya?
  3. Generativity: apakah ada kemungkinan pembelajar didorong untuk membangun dan menemukan sendiri prinsip-prinsip dan didorong untuk mengelaborasi apa yang diterima?
  4. Reflectivity: apakah setelah pembelajaran selesai misalnya, pembelajar bisa melihat manfaat dari apa yang telah dipelajarinya dan apakah dia menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk memperbaiki belajarnya sesuai dengan konteksnya?
  5. Active engagement: apakah setiap individu terlibat secara aktif dalam belajar untuk membangun pemahamannya atau pembelajar lebih pada menerima saja apa yang diberikan?
  6. Personal relevance: apakah pembelajar bisa melihat keterkaitan dari apa yang dipelajarinya dengan kehidupannya sendiri?
  7. Pluralism: apakah pembelajarannya tidak menekankan pada satu cara atau satu solusi? Apakah semua pendapat pribadi mendapat tempat dalam dialog pembelajaran?
3.        Prinsip-prinsip Utama Konstruktivistik dalam Pembelajaran
Menurut Hitipeuw (2009) prinsip-prinsip utama konstruktivistik dalam pembelajaran di kelas adalah:
  1. The best learning is situated learning. Pembelajar memecahkan masalah, menjalankan tugas, belajar materi baru dalam suatu konteks yang bermanfaat bagi pembelajar dan berkaitan dengan dunia nyata.
  2. Pembelajar dalam proses belajarnya mendapatkan scaffolding yang bisa datang dari guru atau teman dalam mengembangkan pemahaman atau keterampilan barunya. Di sini, konstruktivistik mendorong apprenticeship approach (cognitive apprenticeship), menunjukkan pada proses di mana seorang pembelajar memperoleh keahlian secara perlahan-lahan melalui interaksi dengan seorang ahli, apakah seorang dewasa atau dua orang yang lebih maju darinya.
  3. Mengkaitkan semua kegiatan belajar ke dalam tugas atau problema yang lebih besar. Tujuannya agar pembelajar dapat melihat relevansi tujuan belajarnya yang spesifik dan kaitannya dengan tugas yang lebih besar dan kompleks sehingga kelak mereka dapat berfungsi lebih efektif dalam kehidupan nyata.
  4. Membantu pembelajar dalam mengembangkan rasa memiliki atas semua masalah dan tugasnya. Jadi bukan sekedar lulus tes.
  5. Mendesain tugas yang autentik. Membuat tugas-tugas yang menantang kognitif siswa dalam belajar sains misalnya seperti layaknya ilmuwan. Problem atau tugas bisa dinego dengan pembelajar agar sesuai dengan tuntutan kognitif dan dapat mendorong rasa memiliki.
  6. Mendesain tugas dan lingkungan belajar yang merefleksikan kompleksitas lingkungan yang kelak pembelajar diharapkan berfungsi di dalamnya.
  7. Memberi kesempatan bagi pembelajar untuk memiliki dan menemukan proses mendapatkan solusi.
  8. Mendesain lingkungan pembelajar yang mendukung dan menantang pemikiran pembelajar. Di sini guru bertindak sebagai konsultan atau pelatih sesuai dengan konsep scaffolding & zone of proximal development dari Vygotsky.
Selain prinsip di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
1)    Mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan;
2)    Mengutamakan proses;
3)    Menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial;
4)    Pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.
4.        Kelebihan dan Kekurangan Teori Konstruktivistik
a.        Kelebihan :
1)    Pembelajaran konstruktivistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri.
2)    Pembelajaran konstruktivistik memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
3)    Pembelajaran konstruktivistik memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang tepat.
4)    Pembelajaran konstruktivistik memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks.
5)    Pembelajaran konstruktivistik mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
6)    Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
b.        Kelemahan :
1)        Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ahli sehingga menyebabkan miskonsepsi.
2)        Konstruktivistik menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.
3)        Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.
D.      IMPLIKASI TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK DALAM SETTING BK
Berdasarkan teori belajar dan pembelajaran konstruktivistik maka ada beberapa penerapan dalam bimbingan dan konseling yaitu:
1.        Bimbingan kelompok
Menurut Romlah (2006) bimbingan kelompok adalah proses pemberian bantuan yang diberikan pada individu dalam situasi kelompok. Bimbingan kelompok ditujukan untuk mencegah timbulnya masalah pada siswa dan mengembangkan potensi siswa. Ada beberapa teknik yang biasa digunakan dalam pelaksanaan bimbingan kelompok antara lain: pemberian informasi (ekspositori), diskusi kelompok, pemecahan masalah (problem solving), penciptaan suasana kekeluargaan (home room), permainan peranan (role playing), karyawisata, dan permainan simulasi.
2.        Konseling kelompok
Menurut Romlah (2006) konseling kelompok adalah usaha bantuan yang diberikan kepada individu dalam situasi kelompok dalam rangka memberikan kemudahan atau kelancaran dalam perkembangan individu yang bersifat perbaikan dan pencegahan.
3.        Konseling Teman Sebaya (Peer Konseling)
Konseling  teman sebaya sebagai suatu ragam tingkah laku membantu secara interpersonal yang dilakukan  oleh  individu  nonprofesional  yang  berusaha  membantu  orang  lain. Konseling sebaya memungkinkan siswa untuk memiliki keterampilan-keterampilan guna mengimplementasikan pengalaman kemandirian dan  kemampuan  mengontrol  diri  yang  sangat  bermakna  bagi  remaja.  Konseling  sebaya memberikan kontribusi pada dimilikinya pengalaman yang kuat yang dibutuhkan oleh para remaja yaitu respect.


4.        Konseling Postmodern
Konstruktivisme sosial adalah perspektif terapeutik dalam pandangan postmodern, yang menekankan realitas klien apakah akurat atau rasional (Weishaar 1993 dalam Corey 2005). Pada dasarnya semua pengetahuan bersifat relatif karena ia selalu ditentukan oleh konstruk, budaya, bahasa atau teori yang kita terapkan pada suatu fenomen tertentu. Pendekatan konseling postmodern adalah Solution Focused Brief Therapy (SFBT) dan naratif. Dalam beberapa literatur SFBT disebut Terapi Konstruktivis (Constructivist Therapy).
B. Langkah-Langkah Pembelajaran Kontrutivisme
1. Identifikasi tujuan. Tujuan dalam pembelajaran akan memberi arah dalam merancang program, implementasi program dan   evaluasi.
2. Menetapkan Isi Produk Belajar. Pada tahap ini, ditetapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip fisika yang mana yang harus dikuasai siswa.
3.  Identifikasi dan Klarifikasi Pengetahuan Awal Siswa. Identifikasi pengetahuan awal siswa dilakukan melalui tes awal, interview klinis dan peta konsep.
4. Identifikasi dan Klarifikasi Miskonsepsi Siswa. Pengetahuan awal siswa yang telah diidentifikasi dan diklarifikasi perlu dianalisa lebih lanjut untuk menetapkan mana diantaranya yang telah sesuai dengan konsepsi ilmiah, mana yang salah dan mana yang miskonsepsi.
5. Perencanaan Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsep. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran. Sedangkan strategi pengubahan konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk modul.
6. Implementasi Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsepsi. Tahapan ini merupakan kegiatan aktual dalam ruang kelas. Tahapan ini terdiri dari tiga langkah yaitu : (a) orientasi dan penyajian pengalaman belajar, (b)menggali ide-ide siswa, (c) restrukturisasi ide-ide.
7. Evaluasi. Setelah berakhirnya kegiatan implementasi program pembelajaran, maka dilakukan evaluasi terhadap efektivitas model belajar yang telah diterapkan.
8. Klarifikasi dan analisis miskonsepsi siswa yang resisten. Berdasarkan hasil evaluasi perubahan miskonsepsi maka dilakukaan klarifikasi dan analisis terhadap miskonsepsi siswa, baik yang dapat diubah secara tuntas maupun yang resisten.
9. Revisi strategi pengubahan miskonsepsi. Hasil analisis miskonsepsi yang resisten digunakan sebagai pertimbangan dalam merevisi strategi pengubahan konsepsi siswa dalam bentuk modul.
*Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:
  1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
  2. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
  3. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
  4. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.  Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
*Peranan kunci guru dalam interaksi pembelajaran adalah pengendalian, yang meliputi:
  • Menumbuhkan kemandiriran dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
  • Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
  • Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berfikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.
Pandangan konstruktivisme mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Pandangan konstruktivisme mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya. Konstruktivisme mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivisme mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan terhadap dunia nyata, dimana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Teori belajar konstruktivisme mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan informasi kedalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal. Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivisme dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berfikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.

Pembahasan diarahkan pada hal-hal seperti, karakteristik manusia masa depan yang diharapkan, konstruksi pengetahuan, dan proses belajar menurut teori konstruktivistis. Kajian diakhiri dengan memaparkan perbandingan pembelajaran tradisional (behavioristik) dengan pembelajaran konstruktivistik.
  1. 1.    Karakteristik  Manusia Masa Depan yang Diharapkan
Upaya membangun sumber daya manusia ditentukan oleh karakteristik manusia dan masyarakat masa depan yang dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki tersebut adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses … (to) learn to be. Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990).
Kepekaan, bearti ketajaman baik dalam arti kemampuan berpikirnya, maupun kemudah tersentuhan hati nurani di dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan gubahan Sang Pencipta. Kemandirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil berfikir sendiri di samping proses dan hasil berfikir orang lain, serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar dan perlu. Tanggung jawab, berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri. Kolaborasi, bearti disamping mampu berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri, individu dengan ciri-ciri diatas juga mampu bekerja sama dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan bersama.
Langkah strategis bagi perwujudan tujuan diatas adalah adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi. Student active learning atau pendekatan cara belajar siswa aktif didalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang mengakui sentralitas peranan siswa didalam proses belajar, adalah landasan yang kokoh bagi terbentuknya manusia-manusia masa depan yang diharapkan. Pilihan tersebut bertolak dari kajian-kajian kritikal dan empirik disamping pilihan masyarakat (Raka Joni, 1990)
Penerapan ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang bermakna bagi manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang tepat memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang memiliki karakteristik diatas. Kajian terhadap teori belajar konstruktivistik dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan menuju kepada tujuan tersebut.
  1. 2.    Konstruksi Pengetahuan
Untuk memperbaiki pendidikan terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara mengajarnya. Kedua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan menggunakan hal-hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya. Demikian juga, manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Pada bagian ini akan dibahas teori belajar konstruktivistik kaitannya dengan pemahaman tentang apa pengetahuan itu, proses mengkonstruksi pengetahuan, serta hubungan antara pengetahuan, realitas, dan kebenaran.
Apa pengetahuan itu? Menurut pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai kunstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransfer itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
Proses mengkonstruksi pengetahuan. Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan inderanya. Melalui interaksinya dengan objek dan lingkungannya, misalnya dengan melihat, mendengar,menjamah, mambau, atau merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan melainkan sesuatu proses pembentukan. Semakin banyak seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya, pengetahuan dan pemahamannya akan objek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih rinci.
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu;
1)    Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman
2)    Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan
3)    Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya.
Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam dirinya.
  1. 3.    Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melaui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Ada beberapa pandangan dari segi konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
Proses belajar konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamanya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…..constructing and restructuring of  knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex network of increasing conceptual consistency…..”. pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun diluar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
Peranan Siswa (Si-Belajar). Menurut pandangan konstrktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan. 
Peranan Guru. Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru hanya membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belaajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.

Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berfikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.
Evaluasi belajar. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar antara pandangan behavioristik (tradisional) yang obyektifis konstruktivistik. Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifis, sedangkan Piagetian dan tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah pada konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata tersebut, sehingga belajar merupakan asimilasi objek-objek nyata. Tujuan para perancang dan guru-guru tradisional adalah menginterpretasikan kejadian-kejadian nyata yang akan diberikan kepada para siswanya.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan informasi kedalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara individual, bagaimana mengevaluasinya?
Evaluasinya belajar pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar. Sedangkan pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa.
Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih cepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berfikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.